sajak jelek
Sajak-sajak cinta berlalu di jendela kamarku.tapi aku masih tak
tahu apa sesungguhnya cinta itu. Ketika kau datang membawakan bunga,aku
kira itulah cinta. Ternyata salah. Kau hanya bermaksud menitipkan
sekuntum mawar yang terjatuh dari sepeda seorang penjual bunga yang
lewat didepanmu.
Aku kesepian . aku berada di balik jendela ini tanpa
sebuah pemahaman melakukan apa atau menunggu siapa. Nasibku bahakan
mungkin tak jauh lebih baik dari boneka-boneka bidadari yang tersenyum
di etalase. Mereka tidak menunggu jarum jam berjuta kali melewati
angka-angka yang sama. Ada banyak tangan yang dengan lembut disertai
berbagai pujian kekaguman siap mengorbankan dirinya untuk memiliki dan
mengambil mereka. Sedang kepadaku orang-orang yang tersenyum itu hanya
menjenguk sebentar lalu berlalu tanpa menoleh lagi. Padahal metaku
senantiasa berpijar !!!
Apakah aku mencintaimu????
Aku
mencintaimu. Ya mungkin itu salah. Mungkinnn…. Tidak.
Aku mencintaimu
walau aku tidak mengerti benar-benarkah aku mencintaimu. Tapi aku
yakin,yakin sekali,sesuatu yang hidup didalam raga ini adalah cinta.
Cinta untukmu, karena seluruh mimpiku,keinginanku,kebutuhanku,tangis
tawaku, sajak dan doaku….
Dulu kau mencintaiku, aku percaya. Awalnya
ku kira kau tak seperti kau-kau yang lain, yang mampir ke jendela ini
hanya untuk menikmati pijar mataku beberapa menit sebelum pergi. Kau
bahakan datang tidak kepada aku menatap jendela. Kau menghampiri jendela
ini ketika debu merah menutupinya dan aku terpaksa menyanyikan elegi
keras-keras supaya ada yang mengetahui keberadaanku disini.
Dan
ternyata kaulah yang mengetahuinya. Kau mengelap debu merah hingga
jendelaku yang selalu kututup rapat,melompatinya, dan….. tiba- tiba kita
sudah bergenggaman tangan dan aku berjanji meletakkanmu dipagi siang
senja malamku,di gelap terangku,dimimpi ilusiku,dikepalaku.
Aku
menulis sajak jelek---katamu, tapi itulah yang membuat kisah kita
menjadi indah-kataku. kau membuatku melahirkan sajak-sajak jelek, tapi
justru dengan begitu aku merasakan sesuatu yang lebih indah mengalir
dalam darah ini. Setiap aku merindukanmu,kau ternyata sama dengan
kau-kau yang laintak dapat kulihat dijendela. Tapi kata angin kau
sedang menungguku dipantai. Aku harus belajar terbang sebagaimana
merpati putih berani melintasi awan-awan untuk menjemput kekasihnya.
Diantara rasa takut,dingin, aku menyatukan diri denganmu. Kata-kata
berbisik dalam gelora. Pesona cahaya yang biasanya berpijar dari mataku
kini redup,meninggalkan tetes embun yang berubah hangat, pergi ke dunia
yang lain.
Aku belajar menjadikan jendela sebagai cermin. Setiap
pagi aku membukanya berharap-harap merpati mengabarkan kisah kasih
rindumu padaku. Lagu-lagu indah mengalun dari lidahku yang berisi
kenangan. Oh cinta . Cinta. Aku butuh cintamu.
Sebagai matahari yang
menyapu hangat basah pipiku dan sayap-sayap yang menerbangkanku di
puncak pegunungan dimana kita bisa melihat seluruh keindahan dunia.
Tapi aku tak mengerti kenapa kau tak pernah datang. Tak pernah lagi
melihat sajak-sajak jelekku. Sampai sajak-sajak jelekku ku cabik-cabik
dan kutanam di pot-pot gantung dekat jendelaku.
“rasa mencintaimu
menciptakan kedalaman yang nyaris sama dengan sumur zam-zam. Aku menimba
air segar dari dalamnya yang mungkin bercampur dengan lumpur,kusiramkan
pada pot-pot gantung berisi sajak-sajak jelek itu. Sekarang ini
demikianlah kegiatan itu membuatku semakin lupa pada kesunyian. Luka
kehilangamu memanggil obsesi perjuangan dalam diriku. Dan aku semakin
berasumsi itulah cinta. Aku semakin mencintaimu tanpa kata mungkin.”
Air
mataku mengalir sepanjang daun-daun. Aku tak tahu lagi apa yang terjadi
di dalam jiwa. Hanya sempat kurasakan perlahan-lahan kedua tanganku
membentang hendak menggapai matahari.
Oh matahari, bakarlah gelora
cinta dalam diriku. Bakarlah hingga menjadi abu dan tertiup angin.
Setiap
yang datang kembali pergi dan aku sendiri lagi.
Luka ini mengoyak
batinku, mengembara, tak lagi tinggal dibalik jendela.
Aku tak tahu
kemana berjalan. Dunia teramat ramai, tak seperti dalam ilusiku yang
hidup bertahun-tahun.
Disepanjang jalan aku bertemu banyak perempuan
seperti Barbie yang cantik jelita. pria-pria bagai prajurit dan
pangeran, bergerak kesana-kemari dan selalu menggoda perempuan yang
nampak seperti bidadari.
Aku mencari kekasihku yang misterius.lelah
mulai merayap ditubuhku yang belum terisi makanan. Aku duduk ditepi
jalan penuh pepohonan seraya memandangi awan gelap.oh betapa aku ingin
pergi kesana membaringkan tubuh yang lunglai ini. Hingga hujan
memandikan tubuhku yang tegar ditepi jalan dan petir menyambar aku masih
setia menunggu kehadiranmu. Kupikir apa yang kulakukan belum seberapa
dengan kerelaan mati Juliet demi Romeo. Terapi mengapa kau tak seperti
Romeo? Kau seolah tak ingat lagi untuk membawaku dalam kemesraan cinta.
Ataukah kau telah bahagia dengan kekasihmu sekarang?
Kau melupakan
seseorang yang sangat mencintaimu melebihi ilusi-ilusinya sehinngga ia
melangkahkan kaki untuk melihat dunia yang amat terasa asing.
Dan
hujan semakin deras. Bersama air mata mengalir dipipi. Dadaku pecah oleh
gesekan rindu. Aku mencari bayang-bayang kekasihku yang tak kunjung
menjelma. Kesedihan berkecamuk dalam hatiku…
Aku bukan hanya tak bisa
menjumpai kekasih yang kunanti tapi juga kehilangan lukisan-lukisan
wajahnya dalam alam pikirku, dan membiarkan semua anganku tentang kami
terbang tertiup angin Mei ini.
Oh !!! aku kacau-balau. Aku tak bisa
melihat apa-apa lagi dengan jelas. Aku tak mengerti ada apa dengan
dunia. Aku tak tahu lagi apa yang kuinginkan. Aku mendengar suara-suara
yang mengucapkan selamat tinggal. Lalu aku melihat wajahmu muncul dbalik
tirai hujan, menatapku tajam tetapi kosong. Aku ulurkan tanganku
menyentuhmu. Aku ingin membelai basah yang menyelimuti wajahmu. Dan aku
ingin……….sebuah ciuman yang membantu kita lupa akan dinginnya hujan.tapi
kau diam tak bergeming,pucat dan akhirnya memudar. Kau berubah menjadi
kabut putih yang membuatku menggigil. Oh kabut,kau,kau hanya kabut?
Aku
menganga tak mengerti bagaimana ini terjadi. Kau tak mengucapkan
selamat tinggal tapi kau menghilang, kau hanya tinggal sebuah kabut yang
menusuk-nusuk . dan kala mataku membelalak pada alam sekitar, semua
keperihan terasa nyata. Aku tak lebih bagai kembang sepatu yang jatuh
dari tangkainya untuk berada ditepian jalan,menunggu kaki-kaki menginjak
tanpa rasa. Aku tak kehilangan mahkota tapi aku hancur dan layu.
Tubuhku
terseret-seret oleh tangan-tangan tanpa cinta. Aku tak pernah
memberontak. Aku menikmati setiap sentuhan, entah itu tajam menggores
luka ataukah halus menebar racun.
Dan aku pasrah mencintainya.
Mencintaimu,
yang kembali sebagai kabut,. Apakah kau akan menyelimuti dengan dingin
yang abadi dan aku tanpa daya menerima penuh haru? Hingga tinggal
tangisan yang tetap meleleh tak berhenti.
Tangisan apa? Hujan. Dan
hanya aku duduk setia dibawahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar